Banyak orang mengenal nama Gombong, bahkan namanya bergema hingga ke ibukota. Tetapi dalam peta wisata nasional, nama Gombong tak terlalu bergema. Para pelancong pun tak tertarik singgah, kecuali hanya numpang makan atau membeli bahan bakar.
Namun tahukah Anda, bahwa Gombong ternyata menyimpan pesona wisata yang memukau? Ia laksana lorong waktu, dimana kita dapat kembali ke masa lampau sekaligus menyaksikan bagaimana beragam bentuk budaya dan kelompok masyarakat berinteraksi membentuk sebuah kota unik bernama Gombong. Mari bersiap. Saya akan mengajak Anda mengintip masa lalu lewat celah lorong waktu di antara himpitan zaman khas kaum urban.
Sebelumnya izinkan saya memberi saran. Jangan berkeliling menggunakan mobil atau kendaraan bermotor! Pakailah sepeda atau jika mungkin berjalan kaki sehingga akan banyak titik unik yang dijumpai. Mengintip masa lalu tak perlu buru-buru. Menyusur sudut Gombong akan melempar kita ke masa seabad yang lalu, ketika kota kecil ini mulai terbentuk.
Perjalanan dapat kita mulai dari bangunan kuno nan megah di utara kota yang bernama Benteng van der Wijck. Sekalipun saat ini dikelola dalam konsep taman bermain dan hotel, benteng segi delapan (octagonal) ini tetaplah monumen sejarah terpenting di Gombong. Benteng ini dibangun sekitar tahun 1830-1835 oleh Jenderal Frans David Cochius. Banyak kisah terjadi di benteng ini, mulai dari sebuah sekolah bagi anak-anak ‘haram’, hingga Presiden Indonesia kedua yang pernah mengenyam pendidikan militer di sini. Ingat, jangan buru-buru…! Mari kita nikmati detil-detil arsitektur benteng sambil melayangkan imajinasi tentang sinyo-sinyo anak serdadu Belanda yang berlarian, tentang para pemuda pribumi yang berbaris dengan seragam heiho (tentara/barisan pemuda) Jepang.
Dari Benteng van der Wijck, kita lanjut menyusur Jalan Gereja ke selatan. Kita akan menjumpai rumah sakit tentara yang didirikan di awal tahun 1900an. Di sekitarnya banyak rumah-rumah militer yang berderet dan sayang tak begitu terawat, namun justru semakin menunjukkan kesan kunonya. Nikmati juga sisa rumah-rumah ambtenaar (pegawai negeri zaman Belanda) di Jalan Kartini, hingga berujung di pertigaan SGB di jalan utama. Nama SGB merujuk pada Sekolah Guru B. Saat ini gedung tersebut menjadi SMPN 2 Gombong, namun entah mengapa nama SGB tetap melekat. Jika Anda naik angkutan umum, kondektur dan penumpang yang turun di pertigaan tersebut pasti akan mengatakan, “SGB.. SGB…”
Menyeberang Jalan Yos Sudarso, kita masuk ke wilayah Kaputihan, atau yang dulu dikenal juga dengan nama daerah Saudagaran. Memang ini adalah wilayah para Saudagar Kalang, yaitu kelompok bangsawan yang lihai berdagang. Komoditi kerajinan, batik, dan aneka produk industri rakyat diperdagangkan oleh para saudagar kalang ini. Dalam istilah lokal, mereka sering pula disebut dengan nama Raden Nganten. Tahukah Anda, bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani juga berdarah bangsawan kalang dari Gombong?
Masih ada beberapa rumah kuno yang menjadi saksi kejayaan bangsawan kalang. Salah satunya sebuah gedung tua di samping SMP Muhammadiyah. Kuno, agak seram, namun eksotis.
Kembali ke jalan utama, berjalan ke arah barat, kita akan melewati sungai Gombong. Ini menjadi batas tak resmi wilayah para bangsawan kalang dengan para pedagang Tionghoa yang juga banyak terdapat di Gombong. Wilayah Tionghoa menyebar dari kawasan Jalan Puring hingga ke Utara di sekitar Jalan Sempor Lama. Jalan Puring adalah wilayah industri, sedangkan Jalan Sempor Lama adalah wilayah perdagangan dan pergudangan. Pasar Gombong sendiri hingga tahun 1945-an berlokasi di Jalan Pemuda (depan Hotel Dunia). Pasar ini hanya buka setiap hari Senin dan Kamis.
Dari sana sempatkan mampir ke sebuah rumah di Jalan Puring, 50 meter utara rel kereta api. Sebuah rumah tua khas Belanda berdiri kokoh di kanan jalan. Ini adalah sebuah perusahaan rokok klembak menyan, jenis rokok yang sangat melegenda dan menjadi salah satu komunal brand Kota Gombong.
Masuk ke pabrik rokok ini seperti terlempar ke Gombong di tahun 1940an. Para pelintingnya ibu-ibu usia 60-70an, mengenakan kebaya dan kain. Mereka asyik berceloteh sambil meramu rokok yang hanya terdiri dari tembakau, klembak, dan kemenyan. Meskipun kemenyan dipercaya memiliki khasiat untuk kesehatan, aroma mistisnya membuat rokok klembak menyan menjadi pelengkap sesajen di banyak tempat.
Sementara di salah satu sudut ruang, tak jauh dari gudang tembakau yang beraroma khas, terdengar suara kayu beradu. Itu adalah para pekerja (yang kakek-nenek juga!) tengah menumbuk kemenyan. Pekerja dan peralatan seakan ingin mengabarkan panjangnya garis waktu yang telah dilalui rokok klembak menyan dan bagaimana rokok itu telah menjadi saksi hidup para pekerjanya.
Selepas dari pabrik rokok, kita bisa menyusur ke utara, sepanjang jalan yang bisa jadi adalah titik nol kota Gombong: tempat pertemuan Jalan Puring, Jalan Yos Sudars,o dan Jalan Sempor Lama.
Menuju utara di sepanjang Jalan Sempor Lama, di kanan jalan akan tampak sebuah gedung kecil antik di belakang toko plastik. Beberapa bagian masih asli, menampakkan corak khas Tionghoa. Ini adalah gedung perkumpulan kematian, yang dulu merupakan gedung Komunitas Tionghoa (Tjung Hwa Tjung Hwi). Di sini kita masih dapat menyaksikan peti-peti mati tradisional Tionghoa yang per buahnya berharga puluhan juta.
Gedung ini dan beberapa gedung di sekitarnya menjadi saksi perjalanan interaksi sosial dan budaya antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat lokal. Jika beruntung mendapatkan pemandu yang tepat, kita akan mendapatkan kisah yang menarik sekaligus menjadi gambaran betapa beragamnya bentuk-bentuk kebudayaan yang menjadi pondasi awal berdirinya Kota Gombong.
Tak jauh ke arah utara, di sebelah kiri jalan, berdirilah ikon baru wisata Gombong: Roemah Martha Tilaar. Gedung yang dibangun pada tahun 1920 ini merupakan rumah tinggal keluarga Liem Siauw Lam, seorang pengusaha Tionghoa yang sangat berpengaruh saat itu. Di rumah ini lahir cucu yang kelak menjadi pengusaha kosmetik ternama, yaitu Ibu Martha Tilaar.
Saat ini Roemah Martha Tilaar telah menjadi salah satu obyek wisata budaya dan edukasi. Ada banyak nuansa bisa dirasakan di obyek wisata satu ini. Dari segi budaya, tempat ini berusaha mengenalkan nilai-nilai sejarah dan warisan budaya leluhur yang amat terasa dalam rumah ini. Dilihat dari sejarah kota Gombong yang banyak didiami oleh komunitas Belanda dan Tionghoa, secara interior pun dapat dilihat beberapa gaya yang dipengaruhi oleh seni dari Eropa dan Tiongkok.
Selain itu juga melalui house tour bersama pemandu setempat, pengunjung akan diajak untuk menengok kembali keadaan saat tempo dulu. Kita akan mendengar baik cerita pribadi dari seorang Martha Tilaar maupun hubungan keluarga Liem Siaw Lam, kakek Martha Tilaar yang juga menjadi tokoh yang cukup penting pada masanya.
Selesai sudah penjelajahan pertama Kota Gombong. Sebenarnya masih banyak tempat bisa dikunjungi, seperti makam para prajurit Diponegoro, desa tempat Pangeran Diponegoro menyatakan kesediaan untuk berunding dengan Belanda sebelum kemudian ditangkap di Magelang, sebuah masjid dengan tiang (saka) tunggal, dan masih banyak lagi. Lain waktu, sebaiknya Anda menyiapkan waktu lebih panjang. Sungguh, Gombong memang kaya dan mempesona.
Sumber : KebumenMuda.com
Sigit Tri Prabowo, December 21, 2016
http://kebumenmuda.com/2016/12/21/gombong-sekeping-masa-lampau-di-himpitan-zaman/